:
Breaking News

Jejak Air Bah: Sumenep Pernah Hampir Tenggelam di Awal Abad 20

top-news
https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Catatan Sejarah Banjir di Bumi Sumekar (Bagian 1)


SUMENEP I MaduraNetwork.id  — Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Sumenep sejak awal pekan ini kembali menimbulkan genangan di berbagai wilayah. Tak hanya di pusat kota, banjir juga merambah ke sejumlah desa, membuat masyarakat terdampak harus bersiap menghadapi ketidaknyamanan tahunan ini.

 

Namun, apa yang terjadi hari ini sejatinya bukanlah peristiwa baru dalam sejarah panjang Bumi Sumekar. Di balik derasnya hujan dan aliran sungai yang meluap, tersimpan kisah lama tentang air bah yang nyaris menenggelamkan Sumenep lebih dari seabad silam.

 

Menurut Faiq Nur Fikri, seorang pemerhati sejarah lokal, catatan banjir besar di Sumenep bahkan telah terdokumentasi dalam media masa kolonial. “Salah satunya diberitakan oleh koran Bataviasche Handelsblad tahun 1888 yang mengabarkan banjir besar di Kota Sumenep,” ujarnya kepada Media Center Diskominfo, Rabu (14/05/2025).

 

Menariknya, banjir yang terjadi kala itu pun datang di bulan yang sama dengan saat ini: Mei. Curah hujan yang tinggi menyebabkan air meluap hingga membanjiri kampung-kampung dan fasilitas umum. Akibatnya, banyak penduduk harus mengungsi ke dataran yang lebih tinggi.

 

Dua dekade berselang, peristiwa serupa kembali terulang pada tahun 1903. Beberapa sungai utama yang melintasi Sumenep, seperti Sungai Kebonagung, Karangpanasan, dan Baraji meluap, menyebabkan banjir hebat di kawasan pemukiman.

 

“Luapan Sungai Karangpanasan bahkan merendam Kampung Pabian dan Marengan, yang saat itu merupakan kawasan elite tempat tinggal para pembesar Eropa dan Cina,” jelas Faiq, yang juga Ketua Komunitas Sumenep Tempo Dulu.

 

Dampak dari banjir berulang ini akhirnya mendorong Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk mengambil langkah. Pada tahun 1904, mereka menggelontorkan anggaran sebesar f.32.210 guna melakukan pengerukan dua sungai: Karangpanasan dan Kletek yang berada di Desa Kacongan.

 

Langkah ini cukup efektif, setidaknya untuk melindungi pemukiman elite dari ancaman air bah. Namun, menurut Faiq, upaya tersebut hanya fokus pada kawasan yang dihuni warga Eropa dan tidak menyentuh secara menyeluruh wilayah lain yang juga rentan banjir.

 

“Buktinya, pada tahun 1906 banjir besar kembali terjadi di pusat kota, mengakibatkan rusaknya berbagai jembatan dan jalan,” terangnya.

 

Namun puncak dari semua peristiwa itu terjadi pada tahun 1909. Banjir hebat melanda wilayah Ambunten, menjadikannya bencana paling parah dalam catatan sejarah banjir di Sumenep.

 

“Air setinggi lebih dari dua meter menghanyutkan rumah-rumah kayu, menghancurkan infrastruktur, dan menelan korban jiwa. Istri seorang pejabat pribumi dikabarkan hilang dan ditemukan tewas setelah terbawa arus deras,” ungkap Faiq.

 

Banjir di awal abad ke-20 bukan hanya soal cuaca ekstrem, tetapi juga mencerminkan bagaimana manajemen lingkungan dan kesenjangan sosial memengaruhi kesiapsiagaan menghadapi bencana. Cerita ini adalah bagian pertama dari rekam jejak air bah di Sumenep — dan menjadi pengingat bahwa sejarah selalu punya cara untuk kembali hadir, saat manusia melupakannya. (rba/mc)

 

https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *