Jejak Air Bah: Sumenep Pernah Hampir Tenggelam di Awal Abad 20

- Mohammad -
- 14 May, 2025
Catatan Sejarah Banjir di Bumi Sumekar (Bagian 1)
SUMENEP I MaduraNetwork.id
— Hujan
deras yang mengguyur Kabupaten Sumenep sejak awal pekan ini kembali menimbulkan
genangan di berbagai wilayah. Tak hanya di pusat kota, banjir juga merambah ke
sejumlah desa, membuat masyarakat terdampak harus bersiap menghadapi
ketidaknyamanan tahunan ini.
Namun, apa yang terjadi hari ini sejatinya bukanlah
peristiwa baru dalam sejarah panjang Bumi Sumekar. Di balik derasnya hujan dan
aliran sungai yang meluap, tersimpan kisah lama tentang air bah yang nyaris
menenggelamkan Sumenep lebih dari seabad silam.
Menurut Faiq Nur Fikri, seorang pemerhati sejarah
lokal, catatan banjir besar di Sumenep bahkan telah terdokumentasi dalam media
masa kolonial. “Salah satunya diberitakan oleh koran Bataviasche Handelsblad
tahun 1888 yang mengabarkan banjir besar di Kota Sumenep,” ujarnya kepada Media
Center Diskominfo, Rabu (14/05/2025).
Menariknya, banjir yang terjadi kala itu pun datang
di bulan yang sama dengan saat ini: Mei. Curah hujan yang tinggi menyebabkan
air meluap hingga membanjiri kampung-kampung dan fasilitas umum. Akibatnya,
banyak penduduk harus mengungsi ke dataran yang lebih tinggi.
Dua dekade berselang, peristiwa serupa kembali
terulang pada tahun 1903. Beberapa sungai utama yang melintasi Sumenep, seperti
Sungai Kebonagung, Karangpanasan, dan Baraji meluap, menyebabkan banjir hebat
di kawasan pemukiman.
“Luapan Sungai Karangpanasan bahkan merendam
Kampung Pabian dan Marengan, yang saat itu merupakan kawasan elite tempat
tinggal para pembesar Eropa dan Cina,” jelas Faiq, yang juga Ketua Komunitas
Sumenep Tempo Dulu.
Dampak dari banjir berulang ini akhirnya mendorong
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk mengambil langkah. Pada tahun 1904,
mereka menggelontorkan anggaran sebesar f.32.210 guna melakukan pengerukan dua
sungai: Karangpanasan dan Kletek yang berada di Desa Kacongan.
Langkah ini cukup efektif, setidaknya untuk
melindungi pemukiman elite dari ancaman air bah. Namun, menurut Faiq, upaya
tersebut hanya fokus pada kawasan yang dihuni warga Eropa dan tidak menyentuh
secara menyeluruh wilayah lain yang juga rentan banjir.
“Buktinya, pada tahun 1906 banjir besar kembali
terjadi di pusat kota, mengakibatkan rusaknya berbagai jembatan dan jalan,”
terangnya.
Namun puncak dari semua peristiwa itu terjadi pada
tahun 1909. Banjir hebat melanda wilayah Ambunten, menjadikannya bencana paling
parah dalam catatan sejarah banjir di Sumenep.
“Air setinggi lebih dari dua meter menghanyutkan
rumah-rumah kayu, menghancurkan infrastruktur, dan menelan korban jiwa. Istri
seorang pejabat pribumi dikabarkan hilang dan ditemukan tewas setelah terbawa
arus deras,” ungkap Faiq.
Banjir di awal abad ke-20 bukan hanya soal cuaca
ekstrem, tetapi juga mencerminkan bagaimana manajemen lingkungan dan
kesenjangan sosial memengaruhi kesiapsiagaan menghadapi bencana. Cerita ini
adalah bagian pertama dari rekam jejak air bah di Sumenep — dan menjadi
pengingat bahwa sejarah selalu punya cara untuk kembali hadir, saat manusia
melupakannya. (rba/mc)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *