UMKM, Jalan Terjal Mengentaskan Kemiskinan di Sumenep
- Inyoman -
- 14 Sep, 2025
Oleh: I Nyoman Sudirman
Kemiskinan,
di mana pun berada, selalu menjadi kata yang menakutkan. Ia bukan hanya soal
angka, tetapi juga tentang wajah-wajah nelangsa yang setiap hari harus bergelut
dengan keterbatasan. Di Kabupaten Sumenep, kata itu terdengar seperti kabar
buruk yang ingin segera disingkirkan. Namun, kenyataannya, sebagaimana
kejahatan yang tak pernah benar-benar hilang, kemiskinan tetap ada, membandel,
dan terus menuntut solusi nyata.
Pemerintah bisa saja mengucapkan kata
“pengentasan” dengan penuh semangat, tetapi praktiknya tidak sesederhana
jargon. Menghapus kemiskinan ibarat membersihkan noda pekat di kain
putih—semakin keras digosok, terkadang malah menimbulkan sobekan baru. Berbagai
strategi telah dicoba: dari yang instan dan populis, hingga yang membutuhkan
biaya besar, tenaga, dan pikiran. Meski hasilnya terlihat, masalah ini tetap
tak kunjung tuntas.
Bupati Sumenep, Achmad Fauzi, tampaknya paham betul
bahwa kemiskinan bukan sekadar angka dalam laporan statistik. Karena itu, ia
menempatkan isu ini di garda depan agenda pembangunan. Dari sana lahirlah
berbagai gagasan, termasuk mengandalkan event dan sektor UMKM sebagai jalan
keluar.
Mengapa UMKM? Setidaknya ada dua alasan mendasar.
Pertama, sektor ini terbukti mampu menggerakkan roda perekonomian dari bawah.
Kedua, UMKM melibatkan masyarakat secara langsung—memberi mereka ruang untuk
berproduksi, berkreasi, dan menghidupi keluarga tanpa harus bergantung pada
bantuan semata. Dengan logika sederhana: jika UMKM tumbuh, pengangguran
berkurang; jika pengangguran berkurang, kemiskinan perlahan tertekan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) justru memperkuat
klaim ini. Berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, industri pengolahan—yang
banyak digerakkan oleh UMKM—mampu menekan angka kemiskinan hingga 6,23%. Angka
ini lebih rendah dibandingkan sektor lain. Artinya, UMKM bukan sekadar jargon
pembangunan, tetapi benar-benar memberi kontribusi nyata.
Penurunan angka kemiskinan di Sumenep juga menunjukkan
sinyal positif. Dari 18,70% pada 2023 turun menjadi 17,78% pada 2024. Mungkin
persentase itu terlihat kecil, namun dalam konteks ribuan warga miskin, setiap
persen adalah nyawa, adalah harapan baru. Tak berlebihan jika keberhasilan itu
dikaitkan dengan geliat UMKM yang semakin masif lewat berbagai event yang
digelar pemerintah daerah.
Namun, di titik ini kita juga patut berhati-hati.
Mengandalkan event semata tanpa fondasi kuat ibarat membangun rumah di atas
pasir. Event memang mampu menciptakan pasar sesaat, tapi yang lebih penting
adalah bagaimana pemerintah memastikan UMKM punya daya tahan: akses permodalan
yang mudah, pelatihan keterampilan, digitalisasi pemasaran, hingga distribusi
yang adil. Tanpa itu semua, geliat UMKM hanya akan menjadi pesta sesaat yang
meredup setelah lampu panggung dimatikan.
Karenanya, strategi Pemkab Sumenep perlu lebih dari
sekadar mengadakan event. Pemerintah harus berani menggarap akar persoalan:
membuka akses yang lebih luas ke pasar, menekan praktik rente, dan menyiapkan
infrastruktur yang berpihak pada pelaku kecil. Hanya dengan cara itu, UMKM bisa
menjadi mesin penggerak yang konsisten, bukan sekadar simbol pengentasan
kemiskinan.
Sumenep memang sudah menunjukkan tren penurunan
angka kemiskinan. Tetapi pertanyaannya: apakah penurunan itu benar-benar
berkelanjutan, atau hanya hasil sesaat dari kebijakan populis? Jawabannya akan
ditentukan oleh keberanian pemerintah menjaga keberlanjutan UMKM sebagai tulang
punggung ekonomi rakyat.
Mengentaskan kemiskinan bukan sekadar tugas moral,
tetapi juga ujian kepemimpinan. Dan di Sumenep, sejarah akan mencatat: apakah
UMKM benar-benar menjadi jalan keluar, atau hanya sekadar jargon pembangunan
yang terdengar manis, namun tak bertahan lama. (*)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *