:
Breaking News

RIBUAN PENDAMPING DESA RESAH

top-news
https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Ribuan Pendamping Desa Resah: Kontrak Tak Jelas, Kebijakan Kemendesa PDT Dinilai Jebakan


         JAKARTA, MaduraNetwork.id - Ribuan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) di seluruh Indonesia kini dilanda keresahan akibat kebijakan baru Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) tahun 2025. Setelah dua bulan penuh ketidakpastian, akhirnya pada Jumat (20/2/2025), mereka menerima draft kontrak kerja yang justru menimbulkan polemik baru.


Alih-alih memberikan kepastian kerja, kontrak yang ditawarkan memuat sejumlah klausul kontroversial yang dianggap sebagai "jebakan" bagi para Pendamping Desa. Salah satu poin yang paling disorot adalah kewajiban menandatangani surat pernyataan terkait Undang-Undang Pemilu yang dinilai tidak relevan dengan tugas mereka.


Klausul yang Dipertanyakan: Berlaku Surut dan Tidak Konsisten

Salah satu poin dalam surat pernyataan tersebut berbunyi:

"Apabila di kemudian hari saya terbukti pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPR, calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota tanpa didahului dengan pengunduran diri atau mengajukan cuti sebagai Tenaga Pendamping Profesional, maka saya bersedia diberhentikan sepihak oleh Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal."


Pernyataan ini menuai kecaman karena bertentangan dengan kebijakan sebelumnya. Pada Pemilu 2024, Kementerian Desa PDTT telah memberikan "lampu hijau" bagi Pendamping Desa yang maju sebagai calon legislatif. Hal ini diperkuat dengan surat Kemendesa PDTT kepada KPU RI Nomor 1261/HKM.10/VI/2023 yang menyatakan bahwa Pendamping Desa bukan pegawai atau karyawan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1 huruf k Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.


Lebih lanjut, KPU RI bahkan mengeluarkan surat Nomor 740/PL.01.4-SD/05/2023 yang menegaskan bahwa tidak ada aturan yang melarang Pendamping Desa untuk bergabung dalam partai politik atau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.


Dewi, salah satu Pendamping Desa di Sumatera Utara yang pernah menjadi calon legislatif pada Pemilu 2024, mengungkapkan ketidakpuasannya.


"Saat itu kami diperbolehkan nyaleg oleh Kemendesa, bahkan ada surat resminya. Tapi sekarang, tiba-tiba aturan baru ini berlaku surut. Kalau sejak awal dilarang, kami juga tidak akan maju sebagai caleg," ungkapnya.


Kontrak Tidak Jelas, Gaji Terlambat

Selain isi kontrak yang kontroversial, ketidakpastian lain yang membuat para Pendamping Desa resah adalah keterlambatan kontrak kerja mereka. Hingga akhir Februari 2025, ribuan TPP masih belum mendapatkan kejelasan mengenai kontrak mereka, padahal mereka telah bekerja sejak awal Januari.

Salah seorang TPP di Sumatera Barat yang enggan disebutkan namanya mengaku kecewa dengan kondisi ini.


        "Kami sudah dua bulan bekerja, tapi kontrak baru turun sekarang. Jangankan gaji, kontrak saja tidak jelas. Sekarang malah ada aturan baru yang memberatkan kami. Bagaimana nasib kami ke depan?" keluhnya.


Keadaan ini membuat banyak Pendamping Desa di berbagai daerah mempertanyakan komitmen Kemendesa PDT terhadap keberlanjutan program pendampingan di desa.


Kebijakan Baru yang Tidak Sinkron dengan Realitas

Pengamat kebijakan publik, Andi Wijaya, menilai kebijakan Kemendesa PDT kali ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam pengelolaan tenaga pendamping desa.


"Seharusnya kebijakan dibuat untuk ke depan, bukan diberlakukan secara surut. Jika tahun 2024 lalu Kemendesa membolehkan Pendamping Desa menjadi caleg, maka aturan baru ini seharusnya berlaku mulai Pemilu 2029, bukan dipaksakan untuk kasus yang sudah terjadi," jelasnya.


Ia juga menyoroti keterlambatan kontrak sebagai bentuk ketidaksiapan Kemendesa dalam mengelola tenaga pendamping desa.


"Pendamping Desa adalah ujung tombak pembangunan di desa. Jika mereka dibuat bingung dan tidak mendapatkan kepastian kerja, bagaimana program desa bisa berjalan maksimal?" tambahnya.


TPP Menuntut Kepastian dan Perlakuan Adil

Saat ini, ribuan Pendamping Desa di berbagai daerah mulai menyuarakan tuntutan agar Kemendesa PDT memberikan kepastian terkait status kerja mereka, serta meninjau ulang klausul yang dianggap merugikan. Mereka meminta agar aturan baru tidak diberlakukan secara surut dan menuntut kejelasan pembayaran gaji mereka yang sudah tertunda.


Dengan meningkatnya tekanan dari para TPP, bola kini berada di tangan Kemendesa PDT. Akankah kementerian ini mengakomodasi tuntutan para Pendamping Desa, atau justru tetap bersikeras mempertahankan kebijakan barunya?


Yang pasti, keresahan ribuan tenaga pendamping desa ini menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan yang tidak matang justru berpotensi menghambat pembangunan di tingkat desa. (rba)

 

https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *