RIBUAN PENDAMPING DESA RESAH

- Mohammad -
- 27 Feb, 2025
Ribuan Pendamping Desa Resah: Kontrak Tak Jelas, Kebijakan Kemendesa PDT Dinilai Jebakan
JAKARTA, MaduraNetwork.id - Ribuan
Tenaga Pendamping Profesional (TPP) di seluruh Indonesia kini dilanda keresahan
akibat kebijakan baru Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
(Kemendesa PDT) tahun 2025. Setelah dua bulan penuh ketidakpastian, akhirnya
pada Jumat (20/2/2025), mereka menerima draft kontrak kerja yang justru
menimbulkan polemik baru.
Alih-alih memberikan kepastian kerja, kontrak yang
ditawarkan memuat sejumlah klausul kontroversial yang dianggap sebagai
"jebakan" bagi para Pendamping Desa. Salah satu poin yang paling
disorot adalah kewajiban menandatangani surat pernyataan terkait Undang-Undang
Pemilu yang dinilai tidak relevan dengan tugas mereka.
Klausul yang Dipertanyakan: Berlaku Surut dan Tidak
Konsisten
Salah satu poin dalam surat pernyataan tersebut
berbunyi:
"Apabila di kemudian hari saya terbukti pernah mencalonkan diri
sebagai anggota DPR, calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota tanpa didahului dengan pengunduran diri atau mengajukan
cuti sebagai Tenaga Pendamping Profesional, maka saya bersedia diberhentikan
sepihak oleh Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah
Tertinggal."
Pernyataan ini menuai kecaman karena bertentangan
dengan kebijakan sebelumnya. Pada Pemilu 2024, Kementerian Desa PDTT telah
memberikan "lampu hijau" bagi Pendamping Desa yang maju sebagai calon
legislatif. Hal ini diperkuat dengan surat Kemendesa PDTT kepada KPU RI Nomor
1261/HKM.10/VI/2023 yang menyatakan bahwa Pendamping Desa bukan pegawai atau
karyawan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1 huruf k Peraturan KPU Nomor
10 Tahun 2023.
Lebih lanjut, KPU RI bahkan mengeluarkan surat
Nomor 740/PL.01.4-SD/05/2023 yang menegaskan bahwa tidak ada aturan yang
melarang Pendamping Desa untuk bergabung dalam partai politik atau mencalonkan
diri sebagai anggota legislatif.
Dewi, salah satu Pendamping Desa di Sumatera Utara
yang pernah menjadi calon legislatif pada Pemilu 2024, mengungkapkan
ketidakpuasannya.
"Saat itu kami diperbolehkan nyaleg oleh
Kemendesa, bahkan ada surat resminya. Tapi sekarang, tiba-tiba aturan baru ini
berlaku surut. Kalau sejak awal dilarang, kami juga tidak akan maju sebagai
caleg," ungkapnya.
Kontrak Tidak Jelas, Gaji Terlambat
Selain isi kontrak yang kontroversial,
ketidakpastian lain yang membuat para Pendamping Desa resah adalah
keterlambatan kontrak kerja mereka. Hingga akhir Februari 2025, ribuan TPP
masih belum mendapatkan kejelasan mengenai kontrak mereka, padahal mereka telah
bekerja sejak awal Januari.
Salah seorang TPP di Sumatera Barat yang enggan
disebutkan namanya mengaku kecewa dengan kondisi ini.
"Kami sudah dua bulan bekerja, tapi kontrak baru turun sekarang.
Jangankan gaji, kontrak saja tidak jelas. Sekarang malah ada aturan baru yang
memberatkan kami. Bagaimana nasib kami ke depan?"
keluhnya.
Keadaan ini membuat banyak Pendamping Desa di
berbagai daerah mempertanyakan komitmen Kemendesa PDT terhadap keberlanjutan
program pendampingan di desa.
Kebijakan Baru yang Tidak Sinkron dengan Realitas
Pengamat kebijakan publik, Andi Wijaya, menilai
kebijakan Kemendesa PDT kali ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam
pengelolaan tenaga pendamping desa.
"Seharusnya kebijakan dibuat untuk ke depan,
bukan diberlakukan secara surut. Jika tahun 2024 lalu Kemendesa membolehkan
Pendamping Desa menjadi caleg, maka aturan baru ini seharusnya berlaku mulai
Pemilu 2029, bukan dipaksakan untuk kasus yang sudah terjadi," jelasnya.
Ia juga menyoroti keterlambatan kontrak sebagai
bentuk ketidaksiapan Kemendesa dalam mengelola tenaga pendamping desa.
"Pendamping Desa adalah ujung tombak
pembangunan di desa. Jika mereka dibuat bingung dan tidak mendapatkan kepastian
kerja, bagaimana program desa bisa berjalan maksimal?"
tambahnya.
TPP Menuntut Kepastian dan Perlakuan Adil
Saat ini, ribuan Pendamping Desa di berbagai daerah
mulai menyuarakan tuntutan agar Kemendesa PDT memberikan kepastian terkait
status kerja mereka, serta meninjau ulang klausul yang dianggap merugikan.
Mereka meminta agar aturan baru tidak diberlakukan secara surut dan menuntut
kejelasan pembayaran gaji mereka yang sudah tertunda.
Dengan meningkatnya tekanan dari para TPP, bola
kini berada di tangan Kemendesa PDT. Akankah kementerian ini mengakomodasi
tuntutan para Pendamping Desa, atau justru tetap bersikeras mempertahankan
kebijakan barunya?
Yang pasti, keresahan ribuan tenaga pendamping desa
ini menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan yang tidak matang justru berpotensi
menghambat pembangunan di tingkat desa. (rba)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *