:
Breaking News

RUU POLITIK, PAKAR USUL CALEG DPR MINIMAL JADI KADER PARTAI 3 TAHUN

top-news
https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

JAKARTA, MaduraNetwork.id - Wacana pembentukan omnibus law RUU Politik oleh DPR mendapat berbagai masukan dari para pakar. Salah satunya, pemerhati pemilu dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, yang mengusulkan aturan terkait syarat pencalonan anggota legislatif hingga presiden dan wakil presiden.

 

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II DPR di Jakarta, Rabu (26/2), Titi menyampaikan perlunya regulasi yang lebih ketat untuk memastikan bahwa calon anggota legislatif (caleg) memiliki komitmen kuat terhadap partainya. Menurutnya, calon anggota DPR sebaiknya telah menjadi kader partai minimal tiga tahun sebelum pendaftaran, sementara untuk caleg DPRD minimal dua tahun.

 

"Syarat caleg DPR adalah kader partai minimal tiga tahun sebelum pendaftaran calon dan caleg DPRD adalah kader partai minimal dua tahun sebelum pendaftaran calon," ujar Titi.

 

Selain itu, Titi menegaskan bahwa pencalonan oleh partai politik dalam pemilihan presiden dan kepala daerah sebaiknya hanya diperuntukkan bagi kader partai. Adapun bagi calon yang tidak berasal dari partai politik, mereka dapat maju melalui jalur independen.

 

"Pencalonan oleh partai hanya untuk kader atau anggota partai. Calon nonpartai hanya bisa maju melalui jalur independen atau perseorangan," tambahnya.

 

Usulan Ambang Batas Maksimal dan Moratorium Bansos

Dalam kesempatan yang sama, Titi juga mengusulkan adanya ambang batas maksimal dalam pencalonan kepala daerah dan presiden. Ia menilai aturan ini perlu diterapkan guna mencegah dominasi partai tertentu dalam pemilu dan menghindari calon tunggal.

 

"Ambang batas maksimal gabungan partai politik dalam pencalonan presiden dan kepala daerah perlu diatur, dengan batas maksimal 40 hingga 50 persen agar tidak terjadi dominasi kekuatan politik tertentu serta mencegah calon tunggal," jelasnya.

 

Titi turut menyoroti fenomena politisasi bantuan sosial (bansos) selama proses pemilu. Ia mengusulkan agar ada moratorium bansos selama masa kampanye dan masa tenang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) guna mencegah penyalahgunaan bantuan untuk kepentingan politik.

 

Penghapusan Sentra Gakkumdu untuk Efisiensi Penegakan Hukum

Dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum pemilu, Titi mengusulkan penghapusan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Ia berpendapat bahwa penyelesaian dugaan pelanggaran pemilu sebaiknya lebih sederhana dengan memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk langsung menyerahkan dugaan kecurangan ke pengadilan.

 

"Kalau ingin ada polisi dan jaksa di Bawaslu, maka ketika sudah dinyatakan memenuhi unsur tindak pidana, langsung teruskan ke pengadilan negeri. Hal ini agar tidak ada lagi saling lempar tanggung jawab antara Bawaslu dan kepolisian," tegasnya.

 

DPR Siapkan Revisi UU Politik

Saat ini, DPR tengah membahas revisi berbagai undang-undang terkait pemilu dan partai politik. Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, menyebutkan bahwa setidaknya ada lima undang-undang yang berpotensi dikodifikasi menjadi satu dalam RUU Politik.

 

"Yang jelas, kita akan melihat bagaimana RUU Partai Politik, RUU Pilpres, Pileg, DPD, dan Pilkada dapat dikodifikasi menjadi satu atau dua undang-undang agar lebih efektif," ujar Aria.

 

Pembahasan omnibus law RUU Politik ini diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang lebih solid dalam menjaga integritas demokrasi serta meningkatkan kualitas sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia.

 

https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *