:

Pedagang Kecil Protes Rancangan Permenkes, Khawatir Usaha Terganggu

top-news
https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

JAKARTA I MaduraNetwork.id – Gelombang penolakan datang dari kalangan pedagang kecil terhadap Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) yang menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

 

Wakil Ketua Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (AKRINDO), Anang Zunaedi, menyatakan kekhawatirannya. Menurutnya, penerapan aturan tersebut tidak hanya mengurangi pendapatan pedagang, tetapi juga berpotensi menutup usaha mereka.

 

Salah satu poin dalam aturan yang menjadi sorotan adalah larangan menjual produk tembakau dalam radius 200 meter dari Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Di tengah tantangan ekonomi saat ini, Anang menilai regulasi semacam ini justru memperberat kondisi para pelaku usaha kecil.

 

“Sejak awal kami telah menolak PP Kesehatan dan R-Permenkes karena membatasi ruang gerak pedagang. Pemerintah seharusnya melihat kondisi di lapangan. Bagi pedagang kecil, ini bukan cuma soal omzet turun, tapi juga ancaman nyata pada kelangsungan hidup dan stabilitas sosial masyarakat,” ujar Anang dalam pernyataannya, dikutip Selasa (8/4/2025).

 

Anang pun meminta pemerintah menghentikan pembahasan kebijakan yang membebani masyarakat, terlebih saat daya beli terus melemah. Ia khawatir jika aturan tetap diberlakukan, maka tekanan terhadap pedagang akan semakin besar.

 

“Bukan hanya stagnan, sekarang ekonomi jelas melambat. Menjelang musim puncak penjualan saja, daya beli seolah tidak ada geliatnya. Kalau aturan ini tetap dipaksakan, pedagang kecil yang mandiri dan tidak menyusahkan negara justru terancam hilang usahanya,” tambahnya.

 

Sebagai informasi, saat ini Kementerian Kesehatan tengah menyusun R-Permenkes sebagai aturan teknis dari PP Nomor 28 Tahun 2024. Penyusunan ini dikabarkan mengacu pada prinsip-prinsip Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari WHO, yang salah satu dorongannya adalah penerapan kemasan polos pada produk rokok.

 

Namun, akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Surabaya, Firre An Suprapto, menilai bahwa pemerintah tidak bisa serta-merta mengadopsi prinsip FCTC. Ia mengingatkan bahwa Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut, sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum nasional.

 

“Dalam membuat kebijakan, Kementerian Kesehatan harus mempertimbangkan bahwa Indonesia belum meratifikasi FCTC. Maka tidak bisa dijadikan acuan peraturan hukum di dalam negeri. Aspek kesehatan memang penting, tapi jangan abaikan dimensi ekonomi dan sosial,” ujar Firre.

 

Ia juga menekankan pentingnya partisipasi publik dalam penyusunan regulasi. Menurutnya, pembentukan kebijakan harus selaras dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, khususnya terkait integrasi dan sinkronisasi antarpemangku kepentingan.

 

Lebih lanjut, Firre menegaskan bahwa peraturan daerah (Perda) yang nantinya akan dibuat berdasarkan aturan pusat tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Ia menekankan pentingnya menjaga kepentingan umum serta keselarasan dengan sistem hukum nasional.

 

“Prinsip Lex superior derogat legi inferiori harus dijaga. Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya dan harus menjaga kepentingan masyarakat secara luas,” pungkasnya.

 

https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *