Pedagang Kecil Protes Rancangan Permenkes, Khawatir Usaha Terganggu
- Mohammad -
- 15 Apr, 2025
JAKARTA I MaduraNetwork.id – Gelombang penolakan datang dari kalangan pedagang kecil terhadap
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) yang menjadi turunan dari
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Aturan ini merupakan tindak
lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Wakil Ketua Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia
(AKRINDO), Anang Zunaedi, menyatakan kekhawatirannya. Menurutnya, penerapan
aturan tersebut tidak hanya mengurangi pendapatan pedagang, tetapi juga
berpotensi menutup usaha mereka.
Salah satu poin dalam aturan yang menjadi sorotan
adalah larangan menjual produk tembakau dalam radius 200 meter dari Kawasan
Tanpa Rokok (KTR). Di tengah tantangan ekonomi saat ini, Anang menilai regulasi
semacam ini justru memperberat kondisi para pelaku usaha kecil.
“Sejak awal kami telah menolak PP Kesehatan dan
R-Permenkes karena membatasi ruang gerak pedagang. Pemerintah seharusnya
melihat kondisi di lapangan. Bagi pedagang kecil, ini bukan cuma soal omzet
turun, tapi juga ancaman nyata pada kelangsungan hidup dan stabilitas sosial
masyarakat,” ujar Anang dalam pernyataannya, dikutip Selasa (8/4/2025).
Anang pun meminta pemerintah menghentikan
pembahasan kebijakan yang membebani masyarakat, terlebih saat daya beli terus
melemah. Ia khawatir jika aturan tetap diberlakukan, maka tekanan terhadap
pedagang akan semakin besar.
“Bukan hanya stagnan, sekarang ekonomi jelas
melambat. Menjelang musim puncak penjualan saja, daya beli seolah tidak ada
geliatnya. Kalau aturan ini tetap dipaksakan, pedagang kecil yang mandiri dan
tidak menyusahkan negara justru terancam hilang usahanya,” tambahnya.
Sebagai informasi, saat ini Kementerian Kesehatan
tengah menyusun R-Permenkes sebagai aturan teknis dari PP Nomor 28 Tahun 2024.
Penyusunan ini dikabarkan mengacu pada prinsip-prinsip Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC) dari WHO, yang salah satu dorongannya adalah penerapan
kemasan polos pada produk rokok.
Namun, akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Negeri Surabaya, Firre An Suprapto, menilai bahwa pemerintah
tidak bisa serta-merta mengadopsi prinsip FCTC. Ia mengingatkan bahwa Indonesia
belum meratifikasi konvensi tersebut, sehingga tidak dapat dijadikan dasar
hukum nasional.
“Dalam membuat kebijakan, Kementerian Kesehatan
harus mempertimbangkan bahwa Indonesia belum meratifikasi FCTC. Maka tidak bisa
dijadikan acuan peraturan hukum di dalam negeri. Aspek kesehatan memang
penting, tapi jangan abaikan dimensi ekonomi dan sosial,” ujar Firre.
Ia juga menekankan pentingnya partisipasi publik
dalam penyusunan regulasi. Menurutnya, pembentukan kebijakan harus selaras
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, khususnya terkait integrasi dan sinkronisasi antarpemangku
kepentingan.
Lebih lanjut, Firre menegaskan bahwa peraturan
daerah (Perda) yang nantinya akan dibuat berdasarkan aturan pusat tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Ia menekankan pentingnya
menjaga kepentingan umum serta keselarasan dengan sistem hukum nasional.
“Prinsip Lex superior derogat legi inferiori harus
dijaga. Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya dan harus menjaga kepentingan masyarakat secara luas,” pungkasnya.
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *