Pelaku Usaha Ritel Pertanyakan Aturan Penjualan Rokok, Soroti Ketidakjelasan PP 28/2024

- Mohammad -
- 25 Apr, 2025
JAKARTA I MaduraNetwork.id – Kalangan pengusaha ritel menyampaikan keberatan mereka terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang menjadi turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Beberapa ketentuan di dalam regulasi tersebut dinilai menimbulkan ambiguitas, terutama terkait pelarangan penjualan rokok dalam jarak 200 meter dari sekolah dan area bermain anak.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia
(Aprindo), Solihin, menyampaikan bahwa para pelaku usaha ritel mendukung upaya
pemerintah dalam mengedukasi bahaya rokok kepada anak-anak dan remaja. Namun
demikian, penerapan larangan jarak tersebut dianggap tidak jelas dan
membingungkan pelaku usaha.
“Kami di Aprindo, juga di Apindo DKI, merasa aturan
ini muncul tanpa pelibatan dari pihak terkait. Ini menimbulkan pertanyaan besar
bagi kami,” ujar Solihin dalam pernyataannya pada Kamis (24/4/2025).
Di lapangan, aturan tersebut memicu ketidakpastian dan
kekhawatiran akan perlakuan yang tidak merata. Sejumlah ritel bahkan telah
didatangi petugas berseragam yang dianggap berpotensi mencari kesalahan secara
sepihak. Selain itu, kurangnya sosialisasi dari kementerian terkait juga
memperburuk pelaksanaan aturan ini.
Solihin mengungkapkan bahwa Aprindo tengah
mempertimbangkan untuk menempuh jalur judicial review terhadap pasal-pasal yang
dianggap merugikan dunia usaha. “Kami belum diajak berdialog, tahu-tahu
peraturannya sudah keluar. Judicial review menjadi salah satu opsi, meski kami
masih menunggu kemungkinan adanya penyesuaian aturan berdasarkan masukan dari
pelaku usaha,” jelasnya.
Senada dengan itu, Ketua Umum Himpunan Peritel dan
Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, menambahkan
bahwa pelaku usaha sejauh ini sudah melaksanakan pembatasan penjualan rokok
untuk anak di bawah usia 21 tahun. Contohnya, produk rokok kini tidak lagi
dipajang secara mencolok dan diletakkan di balik meja kasir.
Namun, aturan jarak 200 meter menurut Budihardjo
justru berpotensi membuka celah bagi peredaran rokok ilegal. “Kalau rokok legal
tidak bisa dijual dalam radius tersebut, akan muncul praktik-praktik jual beli
ilegal. Yang rugi bukan hanya pengusaha, tapi juga negara karena kehilangan
pemasukan dari pajak,” katanya.
Dari sisi industri, Ketua
Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menyuarakan kekhawatirannya terhadap dampak jangka panjang regulasi ini. Ia mempertanyakan bagaimana pemerintah dapat mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen jika industri tembakau ditekan dengan kebijakan seperti ini.
“Ratusan ribu pekerja bergantung pada sektor ini,
mulai dari petani tembakau hingga buruh pabrik. Jangan lupa, cukai hasil
tembakau menyumbang lebih dari Rp 200 triliun per tahun. Ini bukan angka
kecil,” tegas Benny.
Menurutnya, Indonesia tidak bisa disamakan begitu
saja dengan negara lain karena karakteristik industrinya berbeda. Ia menilai
jika industri tembakau dilemahkan, maka dampaknya akan signifikan terhadap
perekonomian nasional.
“Dengan tekanan seperti ini, mustahil kita bisa
capai pertumbuhan 8%. Malah 50% dari target pun bisa gagal tercapai. Ini yang
menjadi kekhawatiran kami,” tambah Benny.
Ia menyebutkan bahwa dunia usaha butuh kepastian
hukum. Aturan yang tidak bisa diterapkan di lapangan justru menciptakan
ketidakpastian yang menghambat kegiatan usaha. Oleh karena itu, Gaprindo
mendukung penuh langkah judicial review terhadap ketentuan kontroversial ini.
“Kalau peraturan ini dihapus, kami bisa bekerja
dengan tenang. Sekarang ini kami bingung. Hukum ada, tapi pelaksanaannya sulit.
Pedagang terganggu, industri ikut terguncang,” pungkas Benny. (red)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *