Gugat Pasal Tembakau di PP 28/2024, Pengusaha: Ancam Industri dan Pendapatan Negara
- Mohammad -
- 13 May, 2025
JAKARTA I MaduraNetwork.id - Gelombang penolakan terhadap pasal-pasal mengenai tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus bergema. Sejumlah pihak, khususnya dari kalangan industri tembakau, mendesak agar aturan tersebut segera dibatalkan karena dinilai mengancam kelangsungan industri, mengganggu keseimbangan ekonomi, hingga berpotensi menurunkan pendapatan negara.
Salah satu suara keras datang dari Ketua Gabungan
Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar, yang menyoroti sejumlah poin
dalam pasal tembakau di PP 28/2024. Ia menilai aturan ini terlalu represif dan
berpotensi memperbesar peredaran rokok ilegal.
“Kebijakan ini dapat memperparah maraknya peredaran
rokok ilegal yang hingga saat ini masih belum bisa ditangani dengan tuntas oleh
pemerintah,” ujar Sulami dalam keterangan tertulis, Minggu (11/5/2025).
Poin-poin yang dipermasalahkan antara lain larangan
penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat
bermain anak, larangan pemasangan iklan rokok di luar ruangan dalam radius 500
meter dari lokasi serupa, serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa
identitas merek sebagaimana diatur dalam Rancangan Permenkes turunan PP 28/2024.
Menurut Sulami, regulasi ini berisiko menciptakan
ketimpangan antara industri legal dan ilegal. Di tengah tekanan akibat kenaikan
cukai, upah minimum, dan lonjakan biaya produksi, industri rokok legal justru
merasa tidak mendapat perlindungan dari negara.
“Kami akan berjuang supaya regulasi ini tidak
diterapkan,” tegasnya.
Kekhawatiran juga disampaikan oleh Kepala Kantor
Bea dan Cukai Wilayah Jawa Timur I, Untung Basuki. Ia menyebutkan bahwa
industri hasil tembakau (IHT) memiliki peran strategis dalam ekonomi daerah,
terutama di Jawa Timur yang menjadi kontributor terbesar terhadap penerimaan
cukai nasional.
“Industri hasil tembakau memiliki porsi yang sangat
besar bagi Jawa Timur,” kata Untung.
Data menunjukkan bahwa target penerimaan cukai
hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025 mencapai Rp 230,09 triliun, dengan 60,18%
di antaranya berasal dari Jawa Timur. Provinsi ini juga memiliki 977 perusahaan
tembakau yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Salah satu subsektor yang sangat terdampak adalah
sigaret kretek tangan (SKT), sektor padat karya yang sebagian besar pekerjanya
adalah perempuan. Ribuan buruh perempuan di pabrik-pabrik tembakau
menggantungkan hidup pada keberlangsungan industri ini.
“Kalau bapak-ibu lihat itu di pabrik-pabrik SKT,
begitu keluar sore hari, hampir semua pekerjanya adalah ibu-ibu. Jumlahnya
bukan ratusan, tapi ribuan,” jelas Untung.
Untung menambahkan bahwa kebijakan terkait tembakau
semestinya disusun dengan pendekatan terintegrasi yang mencakup aspek
kesehatan, ekonomi, hingga penegakan hukum. Jika hanya fokus pada satu sisi
saja, maka dikhawatirkan akan menciptakan ketimpangan yang membahayakan
stabilitas sosial dan ekonomi.
Ia juga menegaskan pentingnya pemberantasan rokok
ilegal melalui patroli darat maupun pemantauan daring, karena rokok ilegal
merusak ekosistem industri legal sekaligus menggerus pendapatan negara.
Dalam konteks Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBHCHT), Jawa Timur juga tercatat sebagai penerima terbesar dengan alokasi Rp
3,58 triliun dari total nasional Rp 6,39 triliun. Dana ini kemudian
didistribusikan ke sektor kesehatan (40%), kesejahteraan masyarakat (50%), dan
penegakan hukum (10%).
Dengan melihat kontribusi besar industri tembakau,
terutama dari Jawa Timur, banyak pihak meminta pemerintah pusat untuk melakukan
evaluasi menyeluruh terhadap PP 28/2024. Tujuannya agar kebijakan yang
diterapkan tidak menimbulkan disrupsi serius terhadap ekosistem industri hasil
tembakau nasional. (rba)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *