Tradisi Mamaleman: Kearifan Lokal yang Terjaga di Desa Benasare, Rubaru, Sumenep

- Mohammad -
- 24 Mar, 2025
SUMENEP l MaduraNetwork.id - Di tengah derasnya arus modernisasi, sejumlah tradisi lokal tetap bertahan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah tradisi Mamaleman di Desa Benasare, Kecamatan Rubaru, Sumenep. Tradisi yang diwariskan secara turun-temurun ini menjadi momen istimewa dalam bulan suci Ramadan, khususnya pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir, yakni pada malam 21, 25, dan 27 Ramadan.
Mamaleman bukan sekadar ajang berkumpul, tetapi juga sarana
mempererat tali silaturahmi antaranggota keluarga, sanak saudara, dan kerabat
dekat. Setiap rumah secara terbuka mengundang tamu untuk berbuka puasa bersama.
Lebih dari sekadar berbagi hidangan, tradisi ini menjadi wujud nyata
kebersamaan dan keharmonisan sosial.
Seusai berbuka dengan berbagai sajian khas, seperti kocor—takjil
khas Ramadan yang menjadi ikon kuliner di Benasare—para tamu kemudian
melanjutkan dengan salat Magrib berjamaah di rumah.
Yang menarik, suasana Mamaleman sering kali lebih meriah
dibandingkan perayaan Idul Fitri. H. Rasyid, salah satu warga yang setiap tahun
mengikuti tradisi ini, menuturkan bahwa ia selalu menyempatkan diri untuk
pulang ke Benasare setiap malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan.
“Rasanya seperti Idul Fitri, bahkan lebih ramai.
Setiap rumah penuh dengan sanak saudara yang datang dari berbagai tempat,” ujarnya
penuh antusias. Baginya, Mamaleman bukan sekadar kebiasaan turun-temurun,
tetapi juga warisan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur.
Salah satu keunikan Mamaleman adalah suasana kekeluargaan yang
begitu kental. Tidak ada batasan usia dalam tradisi ini; dari anak-anak hingga
orang tua, semua turut serta dalam kebersamaan. Rumah-rumah warga pun terbuka
lebar bagi siapa saja yang datang, menciptakan atmosfer kehangatan yang sulit
ditemukan dalam kehidupan modern yang serba individualistis.
Menurut para sesepuh desa, tradisi ini sudah ada sejak zaman
dahulu dan tetap dilestarikan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur serta
ajaran Islam yang menekankan pentingnya silaturahmi. Keberadaan Mamaleman
menjadi bukti bahwa nilai-nilai kebersamaan masih hidup dalam masyarakat
Benasare.
Di tengah dunia yang semakin sibuk dan cenderung individualistis,
tradisi seperti Mamaleman menjadi perekat sosial yang kuat. Tak heran jika
banyak perantau yang rela pulang ke kampung halaman hanya untuk merasakan
kembali kehangatan Mamaleman. Lebih dari sekadar perayaan, Mamaleman telah
menjadi warisan budaya yang tak ternilai harganya.
H. Rasyid, warga Benasare yang kini tinggal di Desa Pangarangan,
Kecamatan Kota Sumenep, menambahkan bahwa Mamaleman juga memiliki dimensi
spiritual yang mendalam. Baginya, malam-malam tersebut adalah waktu yang tepat
untuk mencari Lailatul Qadar. “Sebelum tengah malam, kami mengadakan selamatan untuk menunggu
Lailatul Qadar,” jelasnya.
Menurut keyakinan sebagian wali, Lailatul Qadar diyakini jatuh
pada malam-malam ganjil, yaitu tanggal 21, 25, dan 27 Ramadan. Malam-malam ini
menjadi waktu yang paling banyak dimanfaatkan untuk beribadah dan bermunajat
kepada Allah. Sementara itu, malam ganjil lainnya, yaitu tanggal 23 dan 29,
memiliki makna tersendiri dalam kepercayaan masyarakat setempat.
“Dalam beberapa keterangan, malam 23 disebut
sebagai malam naas, sedangkan malam 29 sering dianggap sebagai malam terakhir
di bulan Ramadan,” ungkapnya.
Tradisi Mamaleman bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga
cerminan kearifan lokal yang tetap bertahan di tengah perubahan zaman. Keunikan
dan kekuatan tradisi ini menjadi salah satu bukti bahwa nilai-nilai luhur yang
diwariskan oleh para leluhur masih dijunjung tinggi dan terus dilestarikan oleh
masyarakat Desa Benasare. (rba)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *