:
Breaking News

Pak Matrogo, Pejuang Mamaca yang Tetap Setia Melestarikan Seni Tradisional Madura

top-news
https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

SUMENEP, maduranetwork.id – Bagi generasi milenial, mendengar istilah Mamaca mungkin terasa asing. Seni pertunjukan tradisional yang berkembang di masyarakat komunal, khususnya Madura, kini semakin memudar seiring percepatan perubahan zaman. Namun, bagi Pak Matrogo, pria berusia 67 tahun asal Dusun Tarebungan, Desa Kalianget Timur, Sumenep, Mamaca adalah warisan budaya yang harus dilestarikan. Ia bertekad untuk menghabiskan sisa hidupnya agar seni ini tidak tergerus oleh waktu.

Sejak masih SD, Pak Matrogo belajar Mamaca secara otodidak, dan hingga kini ia menjadi salah satu penjaga eksistensi seni ini di Madura. Di Sumenep sendiri, kelompok Mamaca yang masih bertahan dapat dihitung dengan jari. Di Kalianget, hanya ada dua kelompok yang aktif, yaitu Irama Merdeka dan Sinar Nyomo, dengan Pak Matrogo sebagai bagian dari Irama Merdeka.

"Di sini, kami menggelar pertunjukan Mamaca setiap 15 hari sekali secara bergiliran di antara anggota. Setiap kali berkumpul, kami menghabiskan satu malam untuk berkomunikasi dengan tembang-tembang Mamaca yang penuh makna," ujar Pak Matrogo. Acara ini biasanya digelar malam hari, karena suasana yang syahdu, sunyi, dan menenangkan membuatnya lebih efektif dalam menjangkau banyak orang, menggunakan pengeras suara (TOA).

Saat berkumpul, anggota kelompok Mamaca bergantian membaca Kitab Mamaca, antara lain Nur Bhuwwat (kisah Nabi Muhammad), Me’raj (Isra’ Mi’raj), serta sejarah penyebaran agama Islam. Pak Matrogo dan teman-temannya, seperti Pak Abdurahman BA, Moh. Ali, Mastur, Daud, Saleh, Sahe, Sup, dan Said, saling bertukar peran sebagai tokang maca (pembaca) dan tokang tegges (penafsir).

Mamaca dalam budaya Madura memiliki peran penting dalam ritual tradisi, terutama dalam acara selamatan atau ruwatan (arokat). "Di antara acara itu ada rokat desa, keselamatan anak, pernikahan, khitaman, kandungan, hingga rokat tase’ (keselamatan laut)," jelas Pak Matrogo.

Meski demikian, menurut Pak Matrogo, makna dalam Mamaca lebih dalam lagi. "Isi Mamaca menceritakan awal kehidupan manusia, dari kelahiran hingga akhirnya kembali kepada Sang Maha Kuasa. Dalam perjalanan ini, Mamaca juga berisi doa-doa keselamatan dan merupakan bagian dari proses 'ngaji abâ' (mengenal diri) untuk membentuk adab dan tatakrama," jelasnya.

Pak Matrogo yang juga mantan pegawai Dinas Kesehatan Sumenep ini sangat yakin bahwa Mamaca adalah karya budaya yang memiliki simbol filosofi agung. Ia percaya, seni ini adalah warisan leluhur yang perlu dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang. "Ini semua untuk diwariskan kepada anak cucunya," katanya penuh keyakinan.

Seni Mamaca memiliki 11 jenis beragam, antara lain Mijil, Sinom, Maskumambang, Kasmaran, Kinanti atau Salangit, Artate, Lambangsari, Pangkor, Durma, Magatruh, dan Pucung. Meski formatnya mirip dengan seni Macapat dari Jawa, Mamaca Madura memiliki dua peran penting, yaitu tokang maca (pembaca) dan tokang tegges (penafsir).

Meski jumlah pegiat Mamaca kini semakin sedikit, Pak Matrogo dan teman-temannya tetap setia berusaha menjaga keberadaan seni ini. Kesetiaan mereka dalam melestarikan Mamaca patut diapresiasi, karena jika bukan kita, masyarakat Madura, yang menjaga budaya ini, siapa lagi yang akan melestarikannya?

"Mari kita lestarikan Mamaca, agar warisan leluhur ini tetap hidup dan tak hilang dimakan zaman," pesan Pak Matrogo dengan penuh harap. (rba)

 

https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *