Pak Matrogo, Pejuang Mamaca yang Tetap Setia Melestarikan Seni Tradisional Madura

- Mohammad -
- 24 Jan, 2025
SUMENEP, maduranetwork.id – Bagi generasi milenial, mendengar
istilah Mamaca mungkin terasa asing. Seni pertunjukan tradisional yang
berkembang di masyarakat komunal, khususnya Madura, kini semakin memudar
seiring percepatan perubahan zaman. Namun, bagi Pak Matrogo, pria berusia 67
tahun asal Dusun Tarebungan, Desa Kalianget Timur, Sumenep, Mamaca adalah
warisan budaya yang harus dilestarikan. Ia bertekad untuk menghabiskan sisa
hidupnya agar seni ini tidak tergerus oleh waktu.
Sejak masih SD, Pak Matrogo belajar Mamaca secara otodidak,
dan hingga kini ia menjadi salah satu penjaga eksistensi seni ini di Madura. Di
Sumenep sendiri, kelompok Mamaca yang masih bertahan dapat dihitung dengan
jari. Di Kalianget, hanya ada dua kelompok yang aktif, yaitu Irama Merdeka dan
Sinar Nyomo, dengan Pak Matrogo sebagai bagian dari Irama Merdeka.
"Di sini, kami menggelar pertunjukan Mamaca setiap 15
hari sekali secara bergiliran di antara anggota. Setiap kali berkumpul, kami
menghabiskan satu malam untuk berkomunikasi dengan tembang-tembang Mamaca yang
penuh makna," ujar Pak Matrogo. Acara ini biasanya digelar malam hari,
karena suasana yang syahdu, sunyi, dan menenangkan membuatnya lebih efektif
dalam menjangkau banyak orang, menggunakan pengeras suara (TOA).
Saat berkumpul, anggota kelompok Mamaca bergantian membaca
Kitab Mamaca, antara lain Nur Bhuwwat (kisah Nabi Muhammad), Me’raj
(Isra’ Mi’raj), serta sejarah penyebaran agama Islam. Pak Matrogo dan
teman-temannya, seperti Pak Abdurahman BA, Moh. Ali, Mastur, Daud, Saleh, Sahe,
Sup, dan Said, saling bertukar peran sebagai tokang maca (pembaca) dan
tokang tegges (penafsir).
Mamaca dalam budaya Madura memiliki peran penting dalam
ritual tradisi, terutama dalam acara selamatan atau ruwatan (arokat).
"Di antara acara itu ada rokat desa, keselamatan anak, pernikahan,
khitaman, kandungan, hingga rokat tase’ (keselamatan laut)," jelas Pak
Matrogo.
Meski demikian, menurut Pak Matrogo, makna dalam Mamaca lebih
dalam lagi. "Isi Mamaca menceritakan awal kehidupan manusia, dari
kelahiran hingga akhirnya kembali kepada Sang Maha Kuasa. Dalam perjalanan ini,
Mamaca juga berisi doa-doa keselamatan dan merupakan bagian dari proses 'ngaji
abâ' (mengenal diri) untuk membentuk adab dan tatakrama," jelasnya.
Pak Matrogo yang juga mantan pegawai Dinas Kesehatan Sumenep
ini sangat yakin bahwa Mamaca adalah karya budaya yang memiliki simbol filosofi
agung. Ia percaya, seni ini adalah warisan leluhur yang perlu dijaga dan
dilestarikan untuk generasi mendatang. "Ini semua untuk diwariskan kepada
anak cucunya," katanya penuh keyakinan.
Seni Mamaca memiliki 11 jenis beragam, antara lain Mijil,
Sinom, Maskumambang, Kasmaran, Kinanti atau Salangit, Artate, Lambangsari,
Pangkor, Durma, Magatruh, dan Pucung. Meski formatnya mirip dengan seni Macapat
dari Jawa, Mamaca Madura memiliki dua peran penting, yaitu tokang maca
(pembaca) dan tokang tegges (penafsir).
Meski jumlah pegiat Mamaca kini semakin sedikit, Pak Matrogo
dan teman-temannya tetap setia berusaha menjaga keberadaan seni ini. Kesetiaan
mereka dalam melestarikan Mamaca patut diapresiasi, karena jika bukan kita,
masyarakat Madura, yang menjaga budaya ini, siapa lagi yang akan
melestarikannya?
"Mari kita lestarikan Mamaca, agar warisan leluhur ini
tetap hidup dan tak hilang dimakan zaman," pesan Pak Matrogo dengan penuh
harap. (rba)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *