Kekuasaan

- Mohammad -
- 21 Jul, 2025
Oleh: Moh. Rasul Junaidy
(Pemerhati Sosial Politik)
Kekuasaan adalah ruang yang selalu mengundang tafsir. Ia bisa dimaknai sebagai amanah untuk menata peradaban, namun juga bisa menjadi jebakan bagi mereka yang terlena oleh keagungannya. Terlebih bagi mereka yang akrab dengan dunia politik, sebuah wilayah yang sarat dengan dinamika kepentingan dan godaan kekuasaan. Dalam konteks inilah, peringatan harus selalu hadir, jangan sekali-kali bermain-main dengan kekuasaan.
Peringatan
ini bukan tanpa alasan. Sejarah politik kerap memperlihatkan bagaimana
kekuasaan yang tidak dikendalikan dengan etika akan melahirkan korban, termasuk
pemegang kekuasaan itu sendiri. Diktum legendaris, Lord Acton, mengingatkan
bahwa ”power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Sering kali kekuasaan dijadikan tujuan, bukan alat untuk memperjuangkan
kepentingan publik.
Namun, sebagian
pengamat menilai kekuasaan semata-mata dari sisi represif juga tidak adil.
Dalam dinamika sosial, kekuasaan memiliki potensi produktif. Michel Foucault,
filsuf Prancis ternama, menegaskan bahwa kekuasaan bisa melahirkan pengetahuan,
menciptakan wacana, bahkan memunculkan kesenangan. Kekuasaan, jika dikelola
dengan etika dan tanggung jawab, bisa menjadi energi sosial yang positif.
Sayangnya,
narasi kekuasaan yang korup masih terlalu sering menghiasi ruang publik. Dari
media massa hingga media sosial, berita tentang penyalahgunaan wewenang menjadi
makanan harian. Satu pejabat divonis, satu lagi diselidiki. Satu tertangkap
tangan, satu lainnya menjadi tersangka. Sebuah rangkaian cerita yang
menunjukkan betapa kuasa seringkali disalahgunakan demi kepentingan pribadi.
Ironisnya,
gelombang kasus korupsi seolah tak menyurutkan nafsu untuk terus meraih kuasa.
Para elite, alih-alih belajar dari kasus-kasus sebelumnya, justru kerap
mengulangi kesalahan yang sama. Janji membangun pemerintahan bersih kerap
terdengar nyaring di panggung politik, namun realitasnya diwarnai oleh praktik
KKN yang mengakar dan dibiarkan tumbuh liar.
Jika
semangat reformasi hanya menjadi jargon kosong tanpa implementasi nyata, maka
bangsa ini hanya mengulang lingkaran sejarah yang tidak berkesudahan.
Perdebatan politik yang tak substansial justru menjauhkan elite dari realitas
penderitaan rakyat yang mereka wakili. Di tengah krisis ekonomi dan kemiskinan,
sebagian pemimpin sibuk mempertahankan kuasa, bukan menyelesaikan persoalan.
Pengamat
sosial, Yudi Latief, pernah menegaskan bahwa negeri ini tak bisa dijalankan
dengan kebohongan. Bila kekuasaan diraih melalui tipu muslihat, maka kehancuran
moral adalah keniscayaan. Kebohongan yang berulang akan melahirkan pembodohan
dan pengabaian sistematis terhadap kepentingan rakyat.
Lebih buruk
lagi, kekuasaan semacam itu menjelma menjadi watak pangreh praja:
penguasa yang minta dilayani, bukan pelayan rakyat. Di balik simbol-simbol
demokrasi, mereka menutupi sikap otoriter yang tumbuh dalam diam. Retorika tentang
”pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat” hanya tinggal slogan kosong yang
kehilangan makna.
Peringatan
Bung Hatta setengah abad lalu sangat relevan. Ia mengingatkan agar negeri ini
tidak jatuh ke tangan para mafia politik. Namun dalam realitas hari ini,
kekhawatiran itu seolah menjadi kenyataan. Korupsi merajalela, harga diri
bangsa kian terkikis, dan para pejabat publik lebih senang menjadi pelayan para
cukong ketimbang pelayan rakyat.
Bangsa ini
mungkin bisa bertahan dalam kemiskinan. Tapi ketika kekuasaan dijalankan dengan
ketamakan, maka bangsa ini bisa kehilangan segalanya -terutama integritas dan
harga diri. Meminjam term Yudi Latief menyebut kehilangan terbesar
bukanlah pada pertumbuhan ekonomi, melainkan pada merosotnya martabat bangsa.
Karena
itulah, pejabat publik perlu membangun kembali semangat keteladanan dan
kepeloporan. Menjadi pemimpin bukan sekadar dikenal, tetapi memberikan arah
yang jelas dan tindakan nyata. Keteladanan adalah daya dorong moral untuk
membangun masyarakat yang lebih adil, bersih, dan beradab.
Pelajaran
ini sangat penting untuk dipahami oleh generasi sekarang. Jika kita gagal
belajar dari sejarah, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang
hilang arah. Di era demokrasi digital, jabatan bukan lagi soal citra, tetapi
integritas. Bukan soal popularitas semata, melainkan kapasitas dan visi jangka
panjang.
Seperti
yang pernah dikatakan Robert Maynard Hutchins, ”Kematian demokrasi tidak
terjadi karena tikaman musuh dari luar, tetapi karena peluruhan dari dalam:
lewat apati, ketidakpedulian, dan kemiskinan gagasan.” Maka tugas kita hari ini
adalah menjaga demokrasi tetap bernyawa—dengan menegakkan kejujuran,
keberanian, dan tanggung jawab dalam setiap praktik kekuasaan. (*)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *