:
Breaking News

Kekuasaan

top-news
https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Oleh: Moh. Rasul Junaidy

(Pemerhati Sosial Politik)

Kekuasaan adalah ruang yang selalu mengundang tafsir. Ia bisa dimaknai sebagai amanah untuk menata peradaban, namun juga bisa menjadi jebakan bagi mereka yang terlena oleh keagungannya. Terlebih bagi mereka yang akrab dengan dunia politik, sebuah wilayah yang sarat dengan dinamika kepentingan dan godaan kekuasaan. Dalam konteks inilah, peringatan harus selalu hadir, jangan sekali-kali bermain-main dengan kekuasaan.

 

Peringatan ini bukan tanpa alasan. Sejarah politik kerap memperlihatkan bagaimana kekuasaan yang tidak dikendalikan dengan etika akan melahirkan korban, termasuk pemegang kekuasaan itu sendiri. Diktum legendaris, Lord Acton, mengingatkan bahwa ”power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Sering kali kekuasaan dijadikan tujuan, bukan alat untuk memperjuangkan kepentingan publik.

 

Namun, sebagian pengamat menilai kekuasaan semata-mata dari sisi represif juga tidak adil. Dalam dinamika sosial, kekuasaan memiliki potensi produktif. Michel Foucault, filsuf Prancis ternama, menegaskan bahwa kekuasaan bisa melahirkan pengetahuan, menciptakan wacana, bahkan memunculkan kesenangan. Kekuasaan, jika dikelola dengan etika dan tanggung jawab, bisa menjadi energi sosial yang positif.

 



Sayangnya, narasi kekuasaan yang korup masih terlalu sering menghiasi ruang publik. Dari media massa hingga media sosial, berita tentang penyalahgunaan wewenang menjadi makanan harian. Satu pejabat divonis, satu lagi diselidiki. Satu tertangkap tangan, satu lainnya menjadi tersangka. Sebuah rangkaian cerita yang menunjukkan betapa kuasa seringkali disalahgunakan demi kepentingan pribadi.

 

Ironisnya, gelombang kasus korupsi seolah tak menyurutkan nafsu untuk terus meraih kuasa. Para elite, alih-alih belajar dari kasus-kasus sebelumnya, justru kerap mengulangi kesalahan yang sama. Janji membangun pemerintahan bersih kerap terdengar nyaring di panggung politik, namun realitasnya diwarnai oleh praktik KKN yang mengakar dan dibiarkan tumbuh liar.

 

Jika semangat reformasi hanya menjadi jargon kosong tanpa implementasi nyata, maka bangsa ini hanya mengulang lingkaran sejarah yang tidak berkesudahan. Perdebatan politik yang tak substansial justru menjauhkan elite dari realitas penderitaan rakyat yang mereka wakili. Di tengah krisis ekonomi dan kemiskinan, sebagian pemimpin sibuk mempertahankan kuasa, bukan menyelesaikan persoalan.

 

Pengamat sosial, Yudi Latief, pernah menegaskan bahwa negeri ini tak bisa dijalankan dengan kebohongan. Bila kekuasaan diraih melalui tipu muslihat, maka kehancuran moral adalah keniscayaan. Kebohongan yang berulang akan melahirkan pembodohan dan pengabaian sistematis terhadap kepentingan rakyat.

 

Lebih buruk lagi, kekuasaan semacam itu menjelma menjadi watak pangreh praja: penguasa yang minta dilayani, bukan pelayan rakyat. Di balik simbol-simbol demokrasi, mereka menutupi sikap otoriter yang tumbuh dalam diam. Retorika tentang ”pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat” hanya tinggal slogan kosong yang kehilangan makna.

 


Peringatan Bung Hatta setengah abad lalu sangat relevan. Ia mengingatkan agar negeri ini tidak jatuh ke tangan para mafia politik. Namun dalam realitas hari ini, kekhawatiran itu seolah menjadi kenyataan. Korupsi merajalela, harga diri bangsa kian terkikis, dan para pejabat publik lebih senang menjadi pelayan para cukong ketimbang pelayan rakyat.

 

Bangsa ini mungkin bisa bertahan dalam kemiskinan. Tapi ketika kekuasaan dijalankan dengan ketamakan, maka bangsa ini bisa kehilangan segalanya -terutama integritas dan harga diri. Meminjam term Yudi Latief menyebut kehilangan terbesar bukanlah pada pertumbuhan ekonomi, melainkan pada merosotnya martabat bangsa.

 

Karena itulah, pejabat publik perlu membangun kembali semangat keteladanan dan kepeloporan. Menjadi pemimpin bukan sekadar dikenal, tetapi memberikan arah yang jelas dan tindakan nyata. Keteladanan adalah daya dorong moral untuk membangun masyarakat yang lebih adil, bersih, dan beradab.

 

Pelajaran ini sangat penting untuk dipahami oleh generasi sekarang. Jika kita gagal belajar dari sejarah, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang hilang arah. Di era demokrasi digital, jabatan bukan lagi soal citra, tetapi integritas. Bukan soal popularitas semata, melainkan kapasitas dan visi jangka panjang.

 

Seperti yang pernah dikatakan Robert Maynard Hutchins, ”Kematian demokrasi tidak terjadi karena tikaman musuh dari luar, tetapi karena peluruhan dari dalam: lewat apati, ketidakpedulian, dan kemiskinan gagasan.” Maka tugas kita hari ini adalah menjaga demokrasi tetap bernyawa—dengan menegakkan kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab dalam setiap praktik kekuasaan. (*)

 

https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *