:

Polemik Pupuk Bersubsidi di Kepulauan Sumenep: Mengapa Petani Harus Selalu Jadi Korban?

top-news
https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

 Oleh: Inyoman Sudirman

Di atas kertas, pupuk bersubsidi adalah bukti nyata keberpihakan negara kepada petani. Program ini digadang-gadang sebagai wujud pelayanan publik sekaligus strategi pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan. Namun di lapangan, khususnya di wilayah kepulauan Sumenep, realitasnya jauh dari narasi indah yang dibangun di meja birokrasi.

 

Polemik distribusi pupuk bersubsidi di kepulauan bukan sekadar isu teknis, tapi soal keadilan. Jalur distribusi yang berlapis-lapis, panjang, dan melibatkan banyak pihak telah membuka celah penyimpangan. Akibatnya, petani di pulau-pulau kecil seringkali menjadi penonton di ladang mereka sendiri—tanpa cukup pupuk untuk mengolah tanahnya.

 

Akar masalahnya? Pertama, pupuk tidak tepat sasaran. Kedua, distribusi yang tidak efisien. Ketiga, pengawasan yang lemah. Tiga hal ini berulang setiap tahun seperti sandiwara buruk yang tidak pernah diganti naskahnya.

 

Pengalaman tahun lalu menjadi contoh paling gamblang. Inyoman Sudirman, tokoh muda dari Sapeken, Desa Saur Saebus, mengungkapkan bahwa jatah pupuk untuk desanya hanya diantarkan sampai Desa Sabuntan. Untuk menebusnya, petani Saur Saebus harus menyeberangi lautan—mengeluarkan biaya sewa perahu lagi—padahal biaya pengiriman sudah dianggarkan pemerintah. “Kalau memang ada anggaran kirim dari kabupaten, kenapa pupuk tidak langsung sampai ke pulau kami?,” tegasnya.

 

Logika sederhana saja: pupuk itu bantuan pemerintah untuk petani. Maka, mengapa petani justru harus mengeluarkan biaya ekstra dan tenaga tambahan hanya untuk mengambil haknya? Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi bentuk ketidakadilan distribusi yang membebani pihak yang seharusnya dilindungi.

 

Lebih jauh, Sudirman memaparkan empat penyakit kronis dalam tata kelola pupuk bersubsidi di Sumenep yang harus segera diobati:

1.      Data RDKK yang Amburadul – Banyak petani belum terdaftar sebagai penerima subsidi, sementara pihak yang bukan petani malah masuk daftar. Ini jelas merugikan.

 

2.      Pengawasan yang Lemah – Pupuk subsidi rentan diselewengkan karena pihak berwenang tidak benar-benar hadir di lapangan.

 

3.      Penyimpangan oleh Oknum – Ada pihak yang memanfaatkan subsidi untuk keuntungan pribadi, bahkan memperjualbelikannya secara ilegal.

 

4.      Minimnya Edukasi untuk Petani – Banyak petani tidak tahu mekanisme dan hak mereka, sehingga mudah dipinggirkan.

 

Persoalan ini bukan hanya soal logistik, tetapi soal keberpihakan. Jika pemerintah daerah benar-benar ingin membantu petani, maka distribusi pupuk harus diatur agar tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat lokasi—termasuk menjangkau pulau-pulau kecil tanpa membebani petani dengan ongkos tambahan.

 

Pupuk adalah urat nadi pertanian. Memutus akses petani terhadap pupuk sama saja dengan memutus masa depan pangan daerah. Dan di kepulauan seperti Sumenep, itu artinya membiarkan lahan tidur, produksi merosot, dan kesejahteraan petani semakin tertinggal.

 

Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, pupuk bersubsidi akan terus menjadi ironi—program yang dibiayai negara, tetapi manfaatnya tercecer di tengah lautan. (*)

 

https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *