Polemik Pupuk Bersubsidi di Kepulauan Sumenep: Mengapa Petani Harus Selalu Jadi Korban?
- Inyoman -
- 13 Aug, 2025
Oleh: Inyoman Sudirman
Di atas
kertas, pupuk bersubsidi adalah bukti nyata keberpihakan negara kepada petani.
Program ini digadang-gadang sebagai wujud pelayanan publik sekaligus strategi
pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan. Namun di lapangan, khususnya di
wilayah kepulauan Sumenep, realitasnya jauh dari narasi indah yang dibangun di
meja birokrasi.
Polemik distribusi pupuk bersubsidi di kepulauan
bukan sekadar isu teknis, tapi soal keadilan. Jalur distribusi yang
berlapis-lapis, panjang, dan melibatkan banyak pihak telah membuka celah
penyimpangan. Akibatnya, petani di pulau-pulau kecil seringkali menjadi
penonton di ladang mereka sendiri—tanpa cukup pupuk untuk mengolah tanahnya.
Akar masalahnya? Pertama, pupuk tidak tepat
sasaran. Kedua, distribusi yang tidak efisien. Ketiga, pengawasan yang lemah.
Tiga hal ini berulang setiap tahun seperti sandiwara buruk yang tidak pernah
diganti naskahnya.
Pengalaman tahun lalu menjadi contoh paling
gamblang. Inyoman Sudirman, tokoh muda dari Sapeken, Desa Saur Saebus,
mengungkapkan bahwa jatah pupuk untuk desanya hanya diantarkan sampai Desa
Sabuntan. Untuk menebusnya, petani Saur Saebus harus menyeberangi lautan—mengeluarkan
biaya sewa perahu lagi—padahal biaya pengiriman sudah dianggarkan pemerintah.
“Kalau memang ada anggaran kirim dari kabupaten, kenapa pupuk tidak langsung
sampai ke pulau kami?,” tegasnya.
Logika sederhana saja: pupuk itu bantuan pemerintah
untuk petani. Maka, mengapa petani justru harus mengeluarkan biaya ekstra dan
tenaga tambahan hanya untuk mengambil haknya? Ini bukan sekadar kelalaian
teknis, tetapi bentuk ketidakadilan distribusi yang membebani pihak yang
seharusnya dilindungi.
Lebih jauh, Sudirman memaparkan empat penyakit
kronis dalam tata kelola pupuk bersubsidi di Sumenep yang harus segera diobati:
1. Data RDKK yang Amburadul – Banyak
petani belum terdaftar sebagai penerima subsidi, sementara pihak yang bukan
petani malah masuk daftar. Ini jelas merugikan.
2. Pengawasan yang Lemah – Pupuk
subsidi rentan diselewengkan karena pihak berwenang tidak benar-benar hadir di
lapangan.
3. Penyimpangan oleh Oknum – Ada
pihak yang memanfaatkan subsidi untuk keuntungan pribadi, bahkan
memperjualbelikannya secara ilegal.
4. Minimnya Edukasi untuk Petani – Banyak
petani tidak tahu mekanisme dan hak mereka, sehingga mudah dipinggirkan.
Persoalan ini bukan hanya soal logistik, tetapi
soal keberpihakan. Jika pemerintah daerah benar-benar ingin membantu petani,
maka distribusi pupuk harus diatur agar tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat
lokasi—termasuk menjangkau pulau-pulau kecil tanpa membebani petani dengan
ongkos tambahan.
Pupuk adalah urat nadi pertanian. Memutus akses
petani terhadap pupuk sama saja dengan memutus masa depan pangan daerah. Dan di
kepulauan seperti Sumenep, itu artinya membiarkan lahan tidur, produksi
merosot, dan kesejahteraan petani semakin tertinggal.
Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, pupuk
bersubsidi akan terus menjadi ironi—program yang dibiayai negara, tetapi
manfaatnya tercecer di tengah lautan. (*)
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *