Restrenght Komunikasi Politik Caleg menuju Pemilu 2024
- Suhairi -
- 01 Sep, 2023
Oleh: Moh. Zuhdi*
Menjelang Pemilu 2024 yang akan dilaksanakan
secara serentak pada 14 Februari 2024 dan Pilkada pada bulan November 2024
nanti, sudah pasti akan banyak tantangan dan hambatan yang akan kita hadapi.
Hal ini menjadi ujian yang sangat serius bagi penyelenggara maupun pengawas
pemilu.
Secara teknis, soal
penyelenggaraan pemilu adalah hal yang biasa dilakukan oleh KPU, dan juga sudah
menjadi kewajiban bagi Bawaslu dalam mengawal dan mengawasi proses atau pun
tahapan dalam terselenggaranya pemilu secara demokratis, jujur, adil, dan
beradab.
Namun, ada salah satu
problem yang tidak asing lagi selama pelaksanaan pemilu dari beberapa fase
sebelumnya, yakni soal money politic atau politik uang yang menjadi
salah satu ancaman serius pada pemilu serentak di tahun 2024 mendatang. Politik
uang tidak lagi bicara soal antara peserta dan pemilih, tetapi merambah ke
penyelenggara pemilu.
Brusco dan koleganya
(2004: 67), mendefinisikan politik uang sebagai “sebuah penawaran kepada
pemilih dari partai politik, baik yang sedang berkuasa maupun oposisi, dalam
bentuk uang tunai atau (lebih umum) bahan konsumsi yang kecil dengan imbalan
berupa suara penerima”.
Hal senada juga
disampaikan oleh Finan dan Schechter (2012: 864) melihat pembelian suara
sebagai “menawarkan barang kepada individu-individu tertentu sebelum pemilu
sebagai ganti suara mereka”. Karena pembeli suara seringkali tidak menuntut
suara secara eksplisit ketika transaksi itu terjadi. Namun, realitasnya jual
beli suara seringkali terjadi selama sebelum menjelang pemilu, dan pada saat
pelaksanaan pemilu.
Jika politik uang ini
secara terus-menerus terjadi selama pemilu dan dibiarkan begitu saja, maka hal
yang perlu diperdebatkan adalah bagaimana peran partai dalam memberikan edukasi
politik pada kadernya. Sebab jika tidak maka akan terjadi efek politik uang
terhadap partisipasi pemilih.
Meski di sisi lain ada
yang beranggapan bahwa dalam politik elektoral kontestasi pemilu menjadi
sesuatu hal yang lazim atau hal biasa. Ada asumsi yang sering kita dengar,
bahwa siapa yang berhasil memikat hati rakyat, dialah yang akan menang.
Asumsi tersebut ternyata
secara realitas berbagai cara banyak dilakukan oleh calon legislatif atau caleg.
Salah satunya dengan melakukan praktik money politic atau politik uang
yang sayangnya menjadi satu problem besar yang belum terpecahkan hingga saat
ini.
Sebagaimana dilansir data
terakhir Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menyebutkan bahwa dari 28 kasus
pelanggaran pemilu di tahun 2019 lalu, hal yang paling banyak adalah persoalan
politik uang (money politic). Hal itu dilakukan misalnya melalui
pemberian amplop secara langsung yang berisikan uang hingga janji-janji manis
berupa kupon atau hadiah yang prestisius dan sembako. Jika hal tersebut tetap
dibiarkan dan menjadi budaya, maka perlu adanya upaya-upaya pencegahan,
penindakan, dan pemberian sanksi bagi caleg.
Perlu kita ketahui, pemilu
serentak 2024 nanti kita dihadapkan pada banyak kandidasi yang akan dipilih.
Mulai dari pemilihan calon anggota legislatif (DPRD kabupaten, DPRD provinsi,
DPR RI, dan DPD RI). Kemudian dilanjutkan pada pemilihan kepala daerah bupati,
walikota, gubernur hingga pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sudah pasti konsentrasi
penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu tidak hanya terpusat pada aspek
pelanggaran penggunaan politik uang saja, melainkan pada aspek lainnya yang
berhubungan dengan kepemiluan.
Oleh karenanya, dalam
amatan penulis terdapat pertanyaan sederhana, mengapa praktik penggunaan money
politic atau politik uang sudah menjadi budaya selama pemilu berlangsung?
Ada tiga alasan yaitu; pertama, akibat gagalnya para caleg dalam
mengelola pesan komunikasi politik. Sebab komunikasi politik dapat menjadi
penentu pada basis kekuatan dalam memengaruhi khalayak atau massa di lingkungan
politik (the political environment).
Kedua, caleg
yang kurang memiliki kejelasan program yang menjadi unggulan, namun masih
terobsesi atau berambisi untuk menang adalah salah satu faktor yang menyebabkan
praktik penggunaan politik uang terjadi. Ketiga, peran partai politik
yang cenderung kurang optimal dalam mengedukasi kadernya untuk siap maju
menjadi caleg.
Membaca teori Denton dan
Woodward, karakteristik komunikasi politik dalam istilah intention
(tujuan) pengirimnya, yaitu untuk memengaruhi lingkungan politik. Dalam hal
ini, faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukanlah
semata-mata bersumber dari sebuah pesannya saja melainkan dari isi dan
tujuannya.
Oleh karena itu, berkenaan
dengan kontestasi elektoral seperti pileg atau pilkada, pilgub, dan pilpres
langkah-langkah komunikasi politik harus dipersiapkan dengan matang, bahkan
sebelum masa kampanye datang. Artinya, jauh-jauh hari sudah benar-benar matang
secara intelektual dan mental, juga kejelasan program yang akan diperjuangkan
sebagai upaya untuk menampung segala aspirasi rakyat.
Lalu, secara teknis, yang
sering kita temui adalah soal sulit bagi para caleg untuk mendistribusikan
amplop, sembako, atau hadiah kepada pemilih dalam jumlah besar ketika waktunya
relatif pendek, hal yang sering terjadi menjelang akhir periode kampanye.
Sebagian dari solusi yang
diambil para kandidat adalah bahwa mereka lebih suka membagi uang tunai
daripada makanan pokok, karena sangat sulit menyediakan dan membagikan paket
sembako dalam jumlah besar dalam konteks pembelian suara sebagai suatu hal ilegal.
Burhanuddin Muhtadi dalam
bukunya berjudul Kuasa Uang, Politik Uang Dalam Pemilu Pasca Orde Baru (2020 :
237), menyatakan bahwa tim sukses tiga
kali lebih besar kemungkinannya membagikan uang tunai, yakni 16 persen
ketimbang bahan makanan 5 persen.
Bahkan disertasinya yang
dijadikan buku ini dijelaskan pada halaman 237 disebutkan bahwa barang yang
paling umum ditawarkan kepada pemilih yang mengaku menjadi target pembelian
suara (25, 1 persen) adalah uang (75,5 persen dari 25,1 persen adalah 18,7
persen); bahan makanan (12,8 persen) seperti beras, gula atau mie; dan
barang-barang rumah tangga seperti peralatan dapur atau barang pecah belah
maupun pakaian ibadah seperti jilbab, baju, koko, atau sajadah (11,4 persen). Bahkan
beberapa responden menyebutkan barang-barang lain seperti pakaian, rokok,
asuransi kesehatan dan kematian, obat-obatan, dan sebagainya.
Kendati demikian, paparan
data di atas menunjukkan betapa praktik politik uang seolah menjadi keharusan
dan kewajiban bagi para caleg untuk meraih suara sebanyak-banyaknya untuk menang
dan lolos ke parlemen.
Penguatan
Tata Kelola Komunikasi Politik Caleg
Upaya yang harus
dilakukan oleh caleg jelang Pemilu 2024 nanti, dalam amatan penulis, hal yang
terpenting yang perlu dibenahi dan dilakukan adalah soal bagaimana memperkuat
kembali pengelolaan komunikasi politiknya.
Dalam bacaan penulis,
minimal ada empat aspek utama yang harus diperhatikan dalam tata kelola
membangun strategi komunikasi politik yang baik dan efektif, yaitu a power
and authority, marketing politic, manajemen isu, dan penguasaan pemilih.
Aspek yang pertama,
adalah power yakni ‘kekuasaan’ merupakan aspek utama dalam mempertajam
kemampuan entitas untuk mengontrol orang lain, sedangkan authority atau
‘otoritas’ memiliki pengaruh yang didasarkan pada legitimasi.
Meskipun masuk di dalam
persoalan internal partai, namun menjaga power dan authority
sangat penting diperhatikan bagi caleg atau politisi yang akan maju
berkontestasi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan yakni dengan membangun power
relation di dalam partai. Sehingga, saat tiba masanya pemilu, partai
politik akan memberikan dukungan lebih terhadap caleg yang diusung.
Aspek kedua, yaitu
marketing politic atau ‘pemasaran politik’ yang dalam hal ini sebagai
proses untuk memengaruhi perilaku khalayak dalam situasi kompetitif, yang mana
ukuran kesuksesannya berupa pemungutan suara dan kekuatan efektivitas dalam memengaruhi
publik.
Pemasaran politik juga
memiliki keterkaitan dengan public relation politic. Yakni kerja atau
usaha yang dilakukan kapan saja (any times) melalui hubungan dan
pelayanan komunitas, untuk membangun hubungan chemistry, simpati, dan
harmoni.
Secara sederhana hal yang
bisa dilakukan yaitu dengan cara membangun personal branding atau
‘pemasaran diri’. Jadi, ada kerja dan citra yang dikemas. Politisi itu perlu
pengemasan, dramaturgi, framing, dan citra yang harus dibangun dan dipelihara.
Lalu aspek Ketiga,
yaitu bicara soal manajemen isu yang berhubungan dengan tata kelola membangun
opini, reputasi, relasi media, dan propaganda. Terkadang, seorang caleg atau
politisi mempunyai manajemen isu yang bagus, akan tetapi tidak mempunyai
kemampuan untuk handling isu.
Terakhir atau aspek keempat,
upaya untuk menghindari praktik penggunaan politik uang jelang Pemilu 2024
nanti, hal urgen bagi para caleg salah satu caranya adalah harus memiliki pola
pikir yang visioner dan optimis menang. Meski di jalan sana akan banyak
tantangan, rintangan atau hambatan berat sekalipun. Disitulah keimanan seorang
caleg diuji.
Salah satu contoh
bagaimana membaca peluang penguasaan basis pemilih. Hal ini diperlukan
pergeseran penggunaan makna mobilisasi ke partisipasi. Dari mobilisasi ke
partisipasi itu tidak mudah, tetapi mengajak massa atau khalayak untuk memilih
dengan partisipasi itu ideal dan bijaksana, caranya dengan membangun civic voluntary
model. Misalnya, membaca masyarakat berdasarkan pada tingkat pendidikannya atau
hubungan primordial.
Hal demikian bisa saja
digunakan untuk meraih suara pemilih, namun harus berhati-hati dalam
penggunaannya, harus paham, jeli dan peka membaca peta politik di lapangan.
Begitu juga dalam konteks primordial misalnya, jangan kemudian terjebak dalam
mobilisasi SARA.
Ketika caleg berhasil
merumuskan dan menerapkan empat aspek di atas dalam membangun tata kelola
strategi komunikasi politik tersebut dengan baik, maka selanjutnya, bersiap
untuk bertarung dalam masa kampanye. Sejatinya komunikasi politik dan kampanye
memiliki peran yang sangat penting dalam dunia politik.
Untuk itu, mulai saat ini
disadari atau tidak, penggunaan politik uang dalam Pemilu 2024 nanti, uang
tidak akan memberikan jaminan atau solusi untuk menang, selain hal demikian
melanggar hukum dan ajaran agama yang kita anut, justru akan mencederai sistem
demokrasi Indonesia yang sudah lama dibangun, hal ini perlu ditata agar
kualitas demokrasi kita menjadi semakin membaik.
*)
Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Madura dan Peneliti Kajian Media
dan Komunikasi Politik
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *