:

Restrenght Komunikasi Politik Caleg menuju Pemilu 2024

top-news
https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Oleh: Moh. Zuhdi*

 

 

Menjelang Pemilu 2024 yang akan dilaksanakan secara serentak pada 14 Februari 2024 dan Pilkada pada bulan November 2024 nanti, sudah pasti akan banyak tantangan dan hambatan yang akan kita hadapi. Hal ini menjadi ujian yang sangat serius bagi penyelenggara maupun pengawas pemilu.

 

Secara teknis, soal penyelenggaraan pemilu adalah hal yang biasa dilakukan oleh KPU, dan juga sudah menjadi kewajiban bagi Bawaslu dalam mengawal dan mengawasi proses atau pun tahapan dalam terselenggaranya pemilu secara demokratis, jujur, adil, dan beradab.

 

Namun, ada salah satu problem yang tidak asing lagi selama pelaksanaan pemilu dari beberapa fase sebelumnya, yakni soal money politic atau politik uang yang menjadi salah satu ancaman serius pada pemilu serentak di tahun 2024 mendatang. Politik uang tidak lagi bicara soal antara peserta dan pemilih, tetapi merambah ke penyelenggara pemilu.

 

Brusco dan koleganya (2004: 67), mendefinisikan politik uang sebagai “sebuah penawaran kepada pemilih dari partai politik, baik yang sedang berkuasa maupun oposisi, dalam bentuk uang tunai atau (lebih umum) bahan konsumsi yang kecil dengan imbalan berupa suara penerima”.

 

Hal senada juga disampaikan oleh Finan dan Schechter (2012: 864) melihat pembelian suara sebagai “menawarkan barang kepada individu-individu tertentu sebelum pemilu sebagai ganti suara mereka”. Karena pembeli suara seringkali tidak menuntut suara secara eksplisit ketika transaksi itu terjadi. Namun, realitasnya jual beli suara seringkali terjadi selama sebelum menjelang pemilu, dan pada saat pelaksanaan pemilu.

 

Jika politik uang ini secara terus-menerus terjadi selama pemilu dan dibiarkan begitu saja, maka hal yang perlu diperdebatkan adalah bagaimana peran partai dalam memberikan edukasi politik pada kadernya. Sebab jika tidak maka akan terjadi efek politik uang terhadap partisipasi pemilih. 

 

Meski di sisi lain ada yang beranggapan bahwa dalam politik elektoral kontestasi pemilu menjadi sesuatu hal yang lazim atau hal biasa. Ada asumsi yang sering kita dengar, bahwa siapa yang berhasil memikat hati rakyat, dialah yang akan menang.

 

Asumsi tersebut ternyata secara realitas berbagai cara banyak dilakukan oleh calon legislatif atau caleg. Salah satunya dengan melakukan praktik money politic atau politik uang yang sayangnya menjadi satu problem besar yang belum terpecahkan hingga saat ini. 

 

Sebagaimana dilansir data terakhir Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menyebutkan bahwa dari 28 kasus pelanggaran pemilu di tahun 2019 lalu, hal yang paling banyak adalah persoalan politik uang (money politic). Hal itu dilakukan misalnya melalui pemberian amplop secara langsung yang berisikan uang hingga janji-janji manis berupa kupon atau hadiah yang prestisius dan sembako. Jika hal tersebut tetap dibiarkan dan menjadi budaya, maka perlu adanya upaya-upaya pencegahan, penindakan, dan pemberian sanksi bagi caleg.

 


Perlu kita ketahui, pemilu serentak 2024 nanti kita dihadapkan pada banyak kandidasi yang akan dipilih. Mulai dari pemilihan calon anggota legislatif (DPRD kabupaten, DPRD provinsi, DPR RI, dan DPD RI). Kemudian dilanjutkan pada pemilihan kepala daerah bupati, walikota, gubernur hingga pemilihan presiden dan wakil presiden.

 

Sudah pasti konsentrasi penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu tidak hanya terpusat pada aspek pelanggaran penggunaan politik uang saja, melainkan pada aspek lainnya yang berhubungan dengan kepemiluan.

 

Oleh karenanya, dalam amatan penulis terdapat pertanyaan sederhana, mengapa praktik penggunaan money politic atau politik uang sudah menjadi budaya selama pemilu berlangsung? Ada tiga alasan yaitu; pertama, akibat gagalnya para caleg dalam mengelola pesan komunikasi politik. Sebab komunikasi politik dapat menjadi penentu pada basis kekuatan dalam memengaruhi khalayak atau massa di lingkungan politik (the political environment).

 

Kedua, caleg yang kurang memiliki kejelasan program yang menjadi unggulan, namun masih terobsesi atau berambisi untuk menang adalah salah satu faktor yang menyebabkan praktik penggunaan politik uang terjadi. Ketiga, peran partai politik yang cenderung kurang optimal dalam mengedukasi kadernya untuk siap maju menjadi caleg.

 

Membaca teori Denton dan Woodward, karakteristik komunikasi politik dalam istilah intention (tujuan) pengirimnya, yaitu untuk memengaruhi lingkungan politik. Dalam hal ini, faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukanlah semata-mata bersumber dari sebuah pesannya saja melainkan dari isi dan tujuannya.

 

Oleh karena itu, berkenaan dengan kontestasi elektoral seperti pileg atau pilkada, pilgub, dan pilpres langkah-langkah komunikasi politik harus dipersiapkan dengan matang, bahkan sebelum masa kampanye datang. Artinya, jauh-jauh hari sudah benar-benar matang secara intelektual dan mental, juga kejelasan program yang akan diperjuangkan sebagai upaya untuk menampung segala aspirasi rakyat.  

 

Lalu, secara teknis, yang sering kita temui adalah soal sulit bagi para caleg untuk mendistribusikan amplop, sembako, atau hadiah kepada pemilih dalam jumlah besar ketika waktunya relatif pendek, hal yang sering terjadi menjelang akhir periode kampanye.

 

Sebagian dari solusi yang diambil para kandidat adalah bahwa mereka lebih suka membagi uang tunai daripada makanan pokok, karena sangat sulit menyediakan dan membagikan paket sembako dalam jumlah besar dalam konteks pembelian suara sebagai suatu hal ilegal.

 

Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya berjudul Kuasa Uang, Politik Uang Dalam Pemilu Pasca Orde Baru (2020 : 237), menyatakan bahwa tim  sukses tiga kali lebih besar kemungkinannya membagikan uang tunai, yakni 16 persen ketimbang bahan makanan 5 persen.

 

Bahkan disertasinya yang dijadikan buku ini dijelaskan pada halaman 237 disebutkan bahwa barang yang paling umum ditawarkan kepada pemilih yang mengaku menjadi target pembelian suara (25, 1 persen) adalah uang (75,5 persen dari 25,1 persen adalah 18,7 persen); bahan makanan (12,8 persen) seperti beras, gula atau mie; dan barang-barang rumah tangga seperti peralatan dapur atau barang pecah belah maupun pakaian ibadah seperti jilbab, baju, koko, atau sajadah (11,4 persen). Bahkan beberapa responden menyebutkan barang-barang lain seperti pakaian, rokok, asuransi kesehatan dan kematian, obat-obatan, dan sebagainya.

 

Kendati demikian, paparan data di atas menunjukkan betapa praktik politik uang seolah menjadi keharusan dan kewajiban bagi para caleg untuk meraih suara sebanyak-banyaknya untuk menang dan lolos ke parlemen.

 



Penguatan Tata Kelola Komunikasi Politik Caleg

Upaya yang harus dilakukan oleh caleg jelang Pemilu 2024 nanti, dalam amatan penulis, hal yang terpenting yang perlu dibenahi dan dilakukan adalah soal bagaimana memperkuat kembali pengelolaan komunikasi politiknya.

 

Dalam bacaan penulis, minimal ada empat aspek utama yang harus diperhatikan dalam tata kelola membangun strategi komunikasi politik yang baik dan efektif, yaitu a power and authority, marketing politic, manajemen isu, dan penguasaan pemilih.

 

Aspek yang pertama, adalah power yakni ‘kekuasaan’ merupakan aspek utama dalam mempertajam kemampuan entitas untuk mengontrol orang lain, sedangkan authority atau ‘otoritas’ memiliki pengaruh yang didasarkan pada legitimasi.

 

Meskipun masuk di dalam persoalan internal partai, namun menjaga power dan authority sangat penting diperhatikan bagi caleg atau politisi yang akan maju berkontestasi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan yakni dengan membangun power relation di dalam partai. Sehingga, saat tiba masanya pemilu, partai politik akan memberikan dukungan lebih terhadap caleg yang diusung.

 

Aspek kedua, yaitu marketing politic atau ‘pemasaran politik’ yang dalam hal ini sebagai proses untuk memengaruhi perilaku khalayak dalam situasi kompetitif, yang mana ukuran kesuksesannya berupa pemungutan suara dan kekuatan efektivitas dalam memengaruhi publik.

 

Pemasaran politik juga memiliki keterkaitan dengan public relation politic. Yakni kerja atau usaha yang dilakukan kapan saja (any times) melalui hubungan dan pelayanan komunitas, untuk membangun hubungan chemistry, simpati, dan harmoni.

 

Secara sederhana hal yang bisa dilakukan yaitu dengan cara membangun personal branding atau ‘pemasaran diri’. Jadi, ada kerja dan citra yang dikemas. Politisi itu perlu pengemasan, dramaturgi, framing, dan citra yang harus dibangun dan dipelihara.

 

Lalu aspek Ketiga, yaitu bicara soal manajemen isu yang berhubungan dengan tata kelola membangun opini, reputasi, relasi media, dan propaganda. Terkadang, seorang caleg atau politisi mempunyai manajemen isu yang bagus, akan tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk handling isu.

 

Terakhir atau aspek keempat, upaya untuk menghindari praktik penggunaan politik uang jelang Pemilu 2024 nanti, hal urgen bagi para caleg salah satu caranya adalah harus memiliki pola pikir yang visioner dan optimis menang. Meski di jalan sana akan banyak tantangan, rintangan atau hambatan berat sekalipun. Disitulah keimanan seorang caleg diuji.

 

Salah satu contoh bagaimana membaca peluang penguasaan basis pemilih. Hal ini diperlukan pergeseran penggunaan makna mobilisasi ke partisipasi. Dari mobilisasi ke partisipasi itu tidak mudah, tetapi mengajak massa atau khalayak untuk memilih dengan partisipasi itu ideal dan bijaksana, caranya dengan membangun civic voluntary model. Misalnya, membaca masyarakat berdasarkan pada tingkat pendidikannya atau hubungan primordial.

 

Hal demikian bisa saja digunakan untuk meraih suara pemilih, namun harus berhati-hati dalam penggunaannya, harus paham, jeli dan peka membaca peta politik di lapangan. Begitu juga dalam konteks primordial misalnya, jangan kemudian terjebak dalam mobilisasi SARA.

 

Ketika caleg berhasil merumuskan dan menerapkan empat aspek di atas dalam membangun tata kelola strategi komunikasi politik tersebut dengan baik, maka selanjutnya, bersiap untuk bertarung dalam masa kampanye. Sejatinya komunikasi politik dan kampanye memiliki peran yang sangat penting dalam dunia politik.

 

Untuk itu, mulai saat ini disadari atau tidak, penggunaan politik uang dalam Pemilu 2024 nanti, uang tidak akan memberikan jaminan atau solusi untuk menang, selain hal demikian melanggar hukum dan ajaran agama yang kita anut, justru akan mencederai sistem demokrasi Indonesia yang sudah lama dibangun, hal ini perlu ditata agar kualitas demokrasi kita menjadi semakin membaik. 

 

*) Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Madura dan Peneliti Kajian Media dan Komunikasi Politik

 

https://maduranetwork.id/public/uploads/images/photogallery/maanphotogallery29072024_011116_1_20240727_175229_0000.png

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *